Breaking News

Seo Services

Belas Kasih sebagai Jalan Pencerahan: Kedamaian

Apakah seseorang adalah pemeluk agama atau tidak, tidak terlalu menjadi masalah. Jauh lebih penting adalah bahwa mereka menjadi manusia yang baik.
(Dalai Lama)
Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah buku mengenai belas kasih yang ditulis oleh Karen Armstrong (penulis Sejarah Tuhan). Tiba-tiba saja saya merasa tertarik membaca buku bertemakan hal itu, karena biasanya saya hanya tertarik membaca novel. Dalam buku tersebut saya menemukan sebuah kutipan menarik (bagi saya), yang diucapkan oleh Dalai Lama: “Apakah seseorang adalah pemeluk agama atau tidak, tidak terlalu menjadi masalah. Jauh lebih penting adalah bahwa mereka menjadi manusia yang baik”. Ternyata bagi seorang Dalai Lama menjadi “manusia yang baik” adalah jauh penting. Tentu saja hal ini bertentangan dengan yang saya lihat di sini. Agama justru menjadi hal yang lebih penting dan utama dalam masyarakat.
Hidup dengan damai tentunya menjadi impian kita bersama. Namun, setiap hari masih saja kita baca, dengar, dan lihat dalam kehidupan sehari-hari kita berbagai peristiwa bahkan peperangan yang menunjukkan betapa masih jauhnya mimpi itu dan tidak mudah untuk diwujudkan. Agama yang seharusnya memberi kontribusi besar dalam mewujudkan mimpi tersebut justru dianggap sebagai bagian dari masalah. Agama menjadi penyebab dalam seluruh peperangan besar dalam sejarah. Ketamakan, kebencian, nafsu-nafsu dan ambisi manusia kerap dibungkus dalam balutan agama. Agama digunakan dalam upaya membenarkan perilaku-perilaku kejam yang melanggar nilai sakral agama. Dalam rangka mewujudkan kedamaian, saya rasa pembangunan komunikasi global di zaman ini merupakan hal yang sangat penting dan bahkan mendesak untuk dilakukan. Sebuah komunikasi yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dengan damai dalam sikap saling menghormati dan berbelas kasih.
Belas kasih merupakan inti dari kehidupan religius dan moral. Prinsip belas kasih digunakan dalam semua tradisi keagamaan, bersemayam di dalam jantung seluruh agama, etika, dan tradisi spiritual. Belas kasih dapat melawan suara-suara ekstrimisme, intoleransi, dan kebencian. Dengan penerapan belas kasih kita dapat bekerja sama untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian. Berbelas kasih dapat mendorong kita untuk bekerja menghapuskan penderitaan sesama manusia, menghormati setiap manusia serta memperlakukan setiap manusia dengan adil, setara, dan saling menghormati.
Kita seringkali salah menganggap belas kasih sebagai rasa kasihan atau “pitieous” (memilukan) atau “pitiable” (menyedihkan), padahal belas kasih tidak berarti merasa kasihan kepada orang lain. Belas kasih (compassion, dalam bahasa Inggris) sebagian diturunkan dari patiri Latin dan pathein Yunani, yang berarti “menderita, menjalani, atau mengalami”. Jadi belas kasih berarti menanggungkan sesuatu bersama-sama orang lain, menempatkan diri kita dalam posisi orang lain, untuk merasakan penderitaannya seolah-olah itu adalah penderitaan kita sendiri, dan secara murah hati masuk ke dalam sudut pandangnya. Belas kasih meminta kita untuk melihat ke dalam hati kita sendiri, menemukan apa yang membuat kita tersakiti, dan kemudian menolak, dalam keadaan apapun untuk menimbulkan rasa sakit itu pada orang lain. Dengan demikian belas kasih dapat didefinisikan sebagai sikap altruisme (tindakan sukarela untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun) konsisten yang berprinsip.
Guru bijak Cina Konfusius (551–479 SM) dalam intisari metode spiritualnya yang disebut Jalan (dao) yang menyatukan seluruh ajarannya adalah lakukan yang terbaik untuk orang lain (zhong) dan tenggang rasa (shu)Shu juga berarti mempersamakan dengan diri sendiri. Konfusius menyebut nilai ideal ini dengan ren, sebuah kata yang berarti mulia, manusiawi, kelembutan, kelenturan. Menurut Konfusius orang yang bertindak dengan ren “sepanjang hari dan setiap hari” akan menjadi junzi “manusia yang matang”.
Buddha (470–390 SM) menemukan dunia damai dalam dirinya yang disebutnya nirwana (berarti “memadamkan”) karena nafsu, keinginan, dan keegoisan yang membelenggu telah dipadamkan seperti nyala api. Semua orang dapat mencapai nirwana dengan menjalani latihan. Salah satu disiplin intinya adalah meditasi tentang “empat pikiran cinta yang tak terukur”, yaitu: maitri (“cinta kasih”) keinginan untuk menghadirkan kebahagiaan bagi semua makhluk; karuna (belas kasih) tekad untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan mereka; mudita (sukacita simpatik) yang bergembira dalam kebahagiaan orang lain; dan upeksha (pikiran yang adil) ketenangan yang memungkinkan kita untuk mengasihi semua makhluk secara merata dan tidak memihak.
Belas kasih adalah sesuatu yang alami bagi manusia, sesuatu yang mendasar bagi struktur kemanusiaan kita. Dengan berbelas kasih kita memenuhi watak manusiawi dengan menyisihkan ego kita dalam tenggang rasa yang konsisten terhadap orang lain. Auguste Comte (1798–1857) bahkan tidak menganggap perilaku belas kasih sebagai perilaku yang munafik dan penuh perhitungan. Ia justru mengaitkan emosi murah hati dengan estetika karena dia yakin bahwa kualitasnya yang indah memiliki kekuatan tersendiri. Tentunya tidak berlebihan bila Comte mengungkapkan demikian, karena dengan berbelas kasih kita dapat menemukan kekuatan serta keindahan kedamaian baik dalam maupun ke luar diri kita.
Manusia merupakan makhluk yang bergantung secara radikal pada cinta. Otak manusia telah berevolusi untuk peduli dan membutuhkan kepedulian. Manusia dapat menjadi lemah tanpa adanya kepedulian. Belas kasih dalam bahasa Ibrani “rahamanut” dan “rahman” dalam bahasa Arab, secara etimologis berkaitan dengan rehem/RHM (rahim). Ibu dan anak merupakan ekspresi arketipal cinta manusia. Cinta ibu ini membangkitkan gambaran tentang kasih sayang ibu yang mendorong tumbuhnya kapasitas kita untuk altruisme tanpa syarat yang tidak mementingkan diri sendiri.
Lahir dari rasa saling kebergantungan kita yang mendalam, kasih sayang adalah penting bagi hubungan manusia dan bagi kemanusiaan. Kita perlu menjadikan belas kasih sebagai sebuah kekuatan yang jelas, bercahaya, dan dinamis di dunia kita. Bertekad mengatasi keegoisan. Belas kasih dapat menembus batas-batas politik, dogmatis, ideologi, dan agama. Belas kasih merupakan jalan menuju pencerahan. Pencerahan yang sangat diperlukan untuk menciptakan dunia yang damai.
Lalu apa hubungannya belas kasih dengan quote Dalai Lama di atas? Saya rasa banyak orang beragama di dunia ini, akan tetapi apakah dengan beragama maka hal itu menjamin seseorang menjadi manusia yang baik? Saya rasa belum tentu. Justru saya setuju dengan perkataan Dalai Lama bahwa dunia saat ini sangat membutuhkan orang-orang yang baik (yang berbelas kasih). Orang-orang yang bisa saling menghormati, membantu dalam kebaikan, menghargai, dan dapat melihat kedalam dirinya apa yang membuat dirinya sakit dan mencegah hal tersebut terjadi pada orang lain. Kita seringkali disibukkan dengan urusan-urusan agama seperti memandang rendah agama lain, menganggap agama yang kita anut adalah yang paling benar bahkan membenci orang yang tidak beragama, padahal belum tentu orang tidak beragama itu bukan manusia yang baik sehingga menjerumuskan diri kita sendiri pada sikap ekstrimisme, intoleransi, dan kebencian. Dengan penerapan belas kasih kita dapat menjadi “manusia” sesungguhnya, manusia yang baik, sehingga kita dapat bekerja sama mewujudkan keadilan dan perdamaian.
Belas Kasih sebagai Jalan Pencerahan: Kedamaian Belas Kasih sebagai Jalan Pencerahan: Kedamaian Reviewed by NJD Yasdwipura on 12:17 AM Rating: 5

No comments:

Post Bottom Ad

ads 728x90 B
Powered by Blogger.